Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui adanya kesulitan dalam penjualan produk nikel di dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh tingginya Harga Patokan Mineral (HPM) yang diubah melalui kebijakan tarif royalti. Menurut Tri Winarno, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba), harga yang ditetapkan terlalu tinggi bagi smelter, sehingga banyak yang kesulitan untuk membeli nikel dalam negeri.
Tri menjelaskan bahwa permasalahan utama terletak pada ketidaksesuaian harga antara penjual dan pembeli. “Pembeli merasa HPM terlalu tinggi. Sementara itu, pihak yang menjual juga mengalami kesulitan,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI pada Jumat, 2 Mei 2025.
Terkait masalah ini, Kementerian ESDM berencana untuk melakukan evaluasi menyeluruh mengenai Kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM). Tri menegaskan bahwa pihaknya terbuka untuk mendengarkan masukan dari para pelaku industri guna memperbaiki kebijakan yang ada. “Kami akan melakukan evaluasi jika perlu. Tidak ada yang baku, kita bisa melakukan penyesuaian jika diperlukan,” tambahnya.
Pengusaha Nikel Terimbas Dampak Kebijakan Baru
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) juga menyampaikan dampak langsung yang dialami oleh perusahaan terkait perubahan aturan HPM dan tarif royalti. Direktur Utama Antam, Nico Kanter, menyatakan bahwa perusahaan terpaksa menghentikan penjualan bauksit dan produk nikel karena tidak ada pembeli yang bersedia membeli dengan harga sesuai HPM yang baru. Hal ini berimbas pada keuntungan yang tidak optimal bagi perusahaan.
“Karena HPM menjadi batas minimum harga, kami tidak bisa menjual dengan harga yang lebih rendah. Akibatnya, kami berhenti menjual mulai 1 April 2025,” ungkap Nico dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI pada 30 April 2025.
Selain itu, smelter yang beroperasi untuk mengolah bauksit dan nikel juga turut merasakan kerugian akibat tingginya harga HPM. Mereka terpaksa menangguhkan pembelian karena harga yang tidak sesuai dengan kemampuan pasar.
Evaluasi Kebijakan HPM untuk Solusi Penyelesaian
Tri Winarno dari Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa evaluasi akan dilakukan dengan melibatkan masukan dari semua pihak terkait, termasuk pengusaha dan smelter. Pemerintah berkomitmen untuk mendengarkan aspirasi industri dan mengkaji kembali apakah kebijakan yang ada perlu disesuaikan.
“Jika ada kebutuhan untuk perubahan, kita akan melakukan perubahan sesuai dengan hasil evaluasi,” ujar Tri. Kementerian ESDM juga menyatakan komitmennya untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan industri dan kebijakan pemerintah demi mendukung keberlanjutan sektor mineral dalam negeri.
Baca artikel lainnya di roledu.com
Sumber : cnbcindonesia.com






